DEAR
DIARY
Gadis itu melangkah pelan-pelan
menuruni tangga, setelah mendengar bunyi bel dari depan rumahnya. Dengan kunci yang dibawanya, ia pun membuka gerbang rumahnya
tersebut. Paras cantik itu sedikit terkejut mendapati sosok pemuda, yang tengah
berdiri di hadapannya ini. Rambutnya kusut tak beraturan, wajahnya muram dan
matanya suram, menyiratkan jejak-jejak kesedihan. Di tangannya tampak
tergenggam sebuah buku, seperti diary.
“Ayra....” sapa pemuda itu pelan, suaranya
bergetar.
“Hai, Kak Yaska.....” balas Ayra riang.
Gadis itu sadar, bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya pada
pemuda ini.
“Eh.. masuk yuk! Nggak enak
kalau dilihat tetangga” ajak Ayra. Mereka berjalan menuju kursi tamu di teras
rumah. “Duduk, Kak!” suruhnya pada Yaska.
“Thanks, Ra” sahut Yaska.
“Ehm... dimana ya, Kakakku yang selalu
rapi dan wangi itu? Kok jadi buluk gini sih? ” canda Ayra,
mencairkan suasana.
“Ya gini deh, Ra. Kakak banyak
pikiran sih!” Yaska balas tersenyum, beban berat di pundaknya terasa
sedikit lebih ringan sekarang. Ada rasa lega, karena Ayra tidak menanyakan
keadaan kakak perempuannya.
“Kamu ingat pulang juga to, Ra? Udah
tiga tahun sekolah di Australia, pulang-pulang nggak ngasih
kabar” lanjut Yaska.
“Maaf deh, Kak! Aku kan baru sampai
kemarin siang, jadi belum sempat kasih kabar” terang Ayra.
“Iya, Kakak maafin, Ra. Trus Om
dan Tante mana?”
“Masih di Australia, Kak! Mungkin baru besok
mereka sampai Indonesia. By the way, Kakak ada keperluan apa kesini?”
tanya Ayra penasaran.
Yaska sesaat terdiam. Wajahnya sedikit
menegang. Sesosok wajah kembali terbayang di benaknya.
“Kak...?” panggil Ayra lagi,
menyadarkan lamunan Yaska.
Perlahan Yaska menunjukkan buku yang
dibawanya, dia berkata “Ini diary milik Vasya!” Ayra melongo, heran.
“Lho kok bisa dibawa Kak
Yaska sih?”
“Aku nggak tahu. Baru tadi pagi aku nemuin
diary ini di kotak posku!”
Ayra sejenak tersenyum, “Itu berarti Kak
Vasya ingin agar Kak Yaska membaca tulisan-tulisannya di diary ini” ujar
gadis berumur 14 tahun itu. Yaska diam lagi.
“Tapi
untuk apa, Ra?”
“Aku nggak tahu pastinya, Kak! Mungkin
aja Kak Vasya ingin agar Kak Yaska mengetahui sesuatu dari buku ini”
jawab Ayra ringan.
Yaska sedikit ragu. Namun tak lama
kemudian, ia pun mulai membuka diary tersebut.
“Tak pernah lagi kutemukan cahaya
dalam hidupku, yang ada dan tersisa hanyalah kegelapan....” kalimat itu tertulis di halaman pertama diary
Vasya. Mereka sejenak berpandangan.
“Kak, kita harus baca diary ini”
ucap Ayra tegas.
Yaska mengangguk setuju. Tangannya perlahan
mulai membalik halaman diary bersampul hitam tersebut. Tiba-tiba diary
itu mengeluarkan cahaya terang. Yaska terbelalak kaget. Ayra menjerit tertahan.
Tanpa bisa melawan cahaya itu menyedot mereka ke dalam buku. Membawa mereka ke
masa lalu.
---*---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar